Wara Warta

menulis berdasarkan pendapat pengalaman dan refrensi

KAMI PUNYA BANYAK DATABASE CARI ATAU BACA ARTIKEL YANG LAINYA

Senin, 06 Mei 2013

demokrasi adalah konsep universal dan global

buku tentang demokrasi yang tersedia di jual ;



Demokrasi Sebagai Nilai Universal (Amartya Sen)
Ada banyak perkembangan yang terjadi diabad keduapuluh ini,antara lain adalah berakhirnya kerajaan Eropa khususnya Inggris dan Perancis pada abad ke sembilan belas,serta berakhirnya fasisme dan juga paham nazi,serta bangkitnya komunisme di China serta adanya pergeseran tranformasi ekonomi global yang pada awalnya didominasi oleh Amerika Srikat kini mulai di pegang oleh kekuatan bariu dari Asia Timur yaitu Jepang,namun hal yang paling menarik adalah lahirnya paham demokrasi sebgai bentuk pemerintahan yang utama bagi negara-megara didunia dan merupakan paham yang paling bisa diterima ,seperti apa yang diadopsi oleh negara-negara dunia saat ini baik dalam bentuk dan konsep demokrasi itu sendiri.

Perkembangan demokrasi itu senderi tidak terlepas dengan ditanda tanganinya “Magna Carta” di tahun 1215 yang berlanjut dengan paham bahwa demokrasi merupakan sebuah sistem “normal” yang berlaku bagi seluruh negara di dunia baik itu Amerika,Eropa,Afrika,serta Asia.Demokrasi dalam perkembangannya telah menjadi sebuah sistem yang sifatnya universal ,hal demikian didukung dengan adanya rentetan sejarah yang panjang diabad ke sembilan belas oleh para reolusioner perancis yang berkontribusi dalam pemahaman konsep demokrasi sebagai konsep umum.

Konsep dasar pemiiran teori demokrasio tersebut berlanjut dengan apakah setiap negara “cocok dengan sistem demokrasi” Pemikiran ini berubah hanya dalam abad kedua puluh, dengan pengakuan bahwa pertanyaan itu sendiri yang salah: Suatu negara tidak harus dianggap cocok untuk demokrasi, melainkan telah menjadi sehat melalui demokrasi.Hal ini dikarenakan latar belakang yang berbeda beda baik dari segi kemakmuran,sosial dan budaya yang ada.

Hal inilah yang pada akhirnya menajadi sebuah modal utama yaitu diamana adanya persamaan hak bail lelaki dan perempuan, hal inilah yang mendasari sifat universal dari demokrasi itu sendiri,namun tidak hanya sampai disitu kedepannya akan ada banyak hambatan serta halangan bagi demokrasi itu sendiri yang terpenting adalah bagaimana kita dapat memahami arti dari mengapa demokrasi menjadi sistem yang dpercaya pada dunia yang kontemporer seperti saat ini.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnay bahwa tantangan demokrasi akan hadir dari berbgai macam arah ,dan salah satu yang membuat demokrasi belum berjalan efektif adalah karena demokrasi itu sendiri tidak memiliki standar yang baku bagi setiap negara,hal ini terkait dengan latar belakang baik sosial ,okonmi dan budayanya.Meskipun demikian opini dunia telah bergeser,kita tidak lagi dapat bertanya apakah negara A,B,atau C cocok dengan demokrasi

Satu hal yang harus kita sadari adalah kontribusi sebuah pemikiran besar yang revolusioner di era ini adalah demokrasi telah diterima sebgai sebauah nilai yang universal dan juga relevan.


Demokrasi Membentuk Nilai-nilai Pembangunan

Mengapa demokrasi dipilih? Mengapa menjadi the only game in town? Teori pertama mengatakan bahwa “…demokrasi menyebarkan perdamaian”. Kant dalam Perpetual Peace (1795) mengatakan bahwa:  (1) pada republik federal terdapat kecenderungan pemimpin politik mendorong dukungan masyarakat kepada negara sehingga membuat negara lebih kuat dalam menghadapi ancaman; (2) pada negara demokrasi pemerintah dikontrol oleh masyarakat, sehingga untuk memutuskan perang diperlukan persetujuan masyarakat. Keputusan perang menjadi tidak mudah. Jadi, bukan demokrasi menghapuskan peperangan, namun terdapatnya mekanisme konstitusional dalam demokrasi; dan (3) selain terdapat komitmen moral untuk tidak saling berperang, terbentuk pula  spirit of commerce di antara negara-negara demokratis –yang disebutnya sebagai uni pasifik. Kondisi ini menguat ketika ada saling ketergantungan ekonomi antar negara (Sorensen, 1998:166).

Mengikuti Teori Positif dari Kant (1795), sekali ditegakkan, maka demokrasi akan membawa kecenderungan damai. Schumpetter mengemukakan dalam bahasa yang berbeda bahwa perang hanya menguntungkan kaum minoritas produsen senjata dan militer, dan tidak ada demokrasi yang hanya memenuhi kepentingan minoritas dan mentoleransi besarnya pegorbanan akibat imperialisme. Karenanya, hanya perdamaian yang ada di dalam demokrasi. Sorensen pun menambahkan bahwa budaya demokrasi mempunyai norma-nomra tentang resolusi konflik secara damai dan hak-hak orang lain untuk melakukan determinasi diri.

Dalam konteks hubungan internasional, Kant mengembangkan empat proposisi dari kontribusi demokrasi yang mendorong kerjasama damai antar negara, yaitu: (1) prinsip perimbangan kekuatan, yang disebut sebagai pratek anti-hegemonialisme yang sistematis, dengan ide dasar setiap negara dicegah untuk tidak menjadi terlalu kuat bagi negara lainnya untuk menggesernya dari aliansi, sehingga menghindari dominasi; (2) prinsip kodifikasi terjadinya serangkaian interaksi antar negara dalam rangka membentuk badan hukum internasional; (3) perinsip penggunaan konggres (atau perwakilan rakyat) untuk mengatasi masalah antar negara; dan (4) prinsip dialog diplomatik. Kant melihat Eropa di abad 18 sebagai sebuah persemakmuran diplomatik yang terdiri dari sejumlah negara yang independen yang mirip satu sama lain dalam perilaku, pengembangan agama, dan derajad kemajuan sosial –atau dalam kerangka budaya yang sama (Kant, 1795: 185-186). Dengan demikian, dalam konsep Kant, perdamaian sebagai hasil demokrasi terbentuk dari tiga pilar:

eksistensi negara-negara demokratis dengan budaya resolusi konflik secara damai; ikatan moral yang ditempa di antara negara-negara demokratis berdasarkan persamaan landasan moral; dan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan di antara negara-negara tersebut.

Penjelasan positif tersebut berhadapan dengan kenyataan hari ini bahwa salah satu kondisi dasar dalam menjadikan demokrasi sebagai pembawa perdamaian tidak dipenuhi, yaitu prinsip perimbangan kekuatan. Sejak Perang Dunia II, sebagai negara yang tidak terkena perang, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya (dan adikuasa). Perimbangan kekuatan sempat terjadi, namun itu pun tidak di antara negara-negara demokratis, melainkan di antara negara demokratis (liberal) dengan negara sosialis (otoritarian) –AS dan Uni Sovet.

Runtuhnya perimbangan global, terutama dalam militer, membuat AS menjadi the single superpower yang menjadikan dirinya sebagai the global super-cop dan membuatnya merasa sah melakukan intervensi militer ke negara-negara yang dinilai membahayakan AS dengan dasar doktrik pre-emptive-nya –dan bukan semata-mata membahayakan demokrasi. Dalam konteks ini kadang menjadi relevan untuk mengganti istilah Juan Linz dari democracy is the only game in town menjadi AS is the only game in town.

Demokrasi menjadi salah satu komponen dari perkembangan globalisasi yang digerakkan oleh liberalisasi perdagangan, kapitalisme global, yang berjalan seiring dengan bangkitnya kembali libertarianisme dan kebangkitan ekomomi klasik.  Fukuyama (1992:55) mengatakan bahwa akhir dari peradaban adalah kapitalisme, Heilbrowner dan Thurow (1995:27) menambahkan bahwa persaingan kini bukanlah kapitalis dengan sosialis, namun kapitalis dengan kapitalis. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa kapitalisme akan menjadi ideologi peradaban abad 21 dan bahkan ke depan, karena belum ada konsep pengganti yang lebih baik dan lebih menarik. Sementara itu Friedman (2000:115) menyatakan bangsa yang paling cocok untuk tatanan global hanyalah Amerika (Serikat). Jadi tidak aneh jika globalisasi identik dengan Amerikanisasi, dan Amerika identik dengan kapitalisme-libertarianisme-demokrasi (liberal). Seperti kata Boaz (1988) bahwa libertarianism bangkit lagi karena fasisme, komunisme, sosialisme, dan negara kesejahteraan telah terbukti gagal.

Demokrasi menjadi tuntutan dari globalisasi, sebagaimana demokrasi diperlukan untuk mendukung mekanisme pasar bebas –laissez faire. Demokrasi bergerak ke satu arah: demokrasi liberal, karena hanya demokrasi dalam pola ini yang paling cocok untuk liberalisasi perdagangan dunia; karena hanya demokrasi ini yang paling cocok dengan demokrasi Amerika. Tentu saja, gerakan menuju ke demokrasi seperti ini ditopang oleh berbagai pendekatan yang mutakhir, salah satunya adalah good governance, yang dijadikan sebagai software dari demokrasi modern.

Berkenaan dengan good governance, penulis belum menemukannya dalam kamus standar bahasa Indonesia, demikian pula pada kamus standar Inggris Indonesia. Istilah ini berasal dari induk bahasa Eropa, yaitu Latin, yaitu gubernare yang diserap oleh bahasa Inggris menjadi govern, yang berarti steer (menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah). Penggunaan utama istilah ini dalam bahasa Inggris adalah to rule with authority, atau memerintah dengan kewenangan. Tentu saja, terdapat terjemahan lain sesuai dengan perkembangan jaman, mulai dari to attend to (1680), to work or manage (1697) hingga to control the  working of; to regulate (1807), lihat The Shorter Oxford, 1984:874.

Kata sifat dari govern adalah governance yang diartikan sebagai the action of manner of governing atau tindakan (melaksanakan) tata cara pengendalian. Di samping itu, ada juga arti lain sesuai perkembangan waktu, yaitu mode of living (1600) dan method of management, system of regulations (1660). Komisi Global Governance mendefinisikan governance sebagai the sum of many ways that individuals and institutions, public and private, manage their  common affairs. Penjumlahan dari cara-cara di mana individu-individu dan institusi –baik privat maupun publik—mengelola urusan-urusan bersamanya (O’Brien dkk, 2000:2).

Governance sesungguhnya adalah konsep yang masih samar. Pada awalnya Bank Dunia mendefinisikan governance sebagai the exercise of polical power to manage a nation’s affair. Davis dan Keating (2000:3) kemudian memperjelas menjadi the way state power is used in managing economic and social resources for development of society.

Sementara itu, OECD dan Bank Dunia juga mensinonimkan good governance (GG) dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.


Liberallisasi Dalam Suatu Demokrasi

Liberalisme sangat mempercayai pluralitas dan menempatkan individu sebagai aktor utama. Pada abad ke-18 terjadi perpecahan di tubuh liberalisme dan munculah paham libertarianisme dan demokrasi sosial. Perpecahan ini muncul karena adanya perbedaan pendapat mengenai konsep penanganan pasar. Perpecahan semakin membesar pada abad ke-20 berkenaan dengan terjadinya beberapa revolusi dan perang. Libertarianisme berpendapat pasar yang ideal adalah pasar yang bebas tanpa ada intervensi dari pemerintah dan kebebasan atas kepemilikan pribadi. Libertarianisme sangat antipati terhadap konsep power yang terkonsentrasi karena mengacu pada pernyataan Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Pembatasan kekuasaan negara ini juga ditujukan untuk perlindungan hak-hak individu dan warga negara dari tekanan represi pemerintah. Mengenai dasar filosofi pasar bebas, Boaz menyatakan bahwa untuk bertahan dan berkembang individu membutuhkan aktivitas ekonomi.

Sebetulnya faham liberalisme klasik tidak pernah diterapkan sepenuhnya dalam kenyataan. Justru di negara-negara yang menerapkan demokrasi liberal, terdapat kesadaran yang kuat bahwa untuk mencapai maksud dan tujuan dari liberalisme itu sendiri negara perlu berperan aktif dalam bidang ekonomi dengan membuat regulasi bagaimana pasar bekerja. Terutama yang berhubungan dengan aspek distributif kekayaan demi terciptanya persamaan dan kebaikan bidup bermasyarakat.

Demokrasi Liberalisme Kebablasan

 Demokrasi liberalisme yang diterapkan di Negara kita telah mengalami demokrsi yang kebablasan, artinya adalah demokrasi yang tidak dibatasi lagi oleh nilai-nilai itu sendiri. Setiap orang boleh untuk merusak atau anarkisme atas dasar demokrasi, jalan menuju anarkisme atas nama demokrasi. Munculnya era reformasi yang sebelumnya kran berbicara, berkumpul dan penpendapat ditutup oleh rezim Soeharto, tapi begitu reformasi muncul ini kembali dibuka sebebas bebasnya, yang outputnya adalah demokrasi yang kebablasan.

Dalam konteks ini, penulis tidak anti akan demokrasi, tapi yang menjadi kegelisahan kita akhir-akhir ini adalah demokrasi yang liberal (kebablasan), kebebasan yang sebebas- bebasnya, demokrasi yang sudah bertentangan dengan nilai-nilai humanis pancasila, sehingga demokrasi gagal menciptakan kondisi yang teratur dalam masyarakat, sebaliknya yang terjadi kondisi, ketidak- teraturan (dis-order), tidak bisa dipungkiri untuk saat ini demokrasi yang  relatif  baik dibandingkan dengan sistem yang ada.


Demokrasi Liberal Barat dan Globalisasi
Selama abad ke-20 demokrasi telah dibawa ke seluruh penjuru dunia lewat globalisasi. Namun, kecenderungan globalisasi yang tanpa arah menyulitkan kita untuk memahami akan ke arah mana proses ini bergulir. Claude Ake mempertanyakan “Bagaimana demokrasi bisa diselamatkan dari globalisasi.” Dalam pandangannya globalisasi memunculkan demokrasi yang tidak relevan dan dalam hal iniakan menimbulkan ancaman yang paling serius dalam sejarah demokrasi (Cunningham, 2002:199-200). Ake mengatakan bahwa globalisasi ekonomi telah mengakibatkan terjadinya perubahan cara pengambilan kebijakan yang sebelumnya berdasarkan kehendak rakyat kini disusun oleh kelompok agensi ekonomi dunia (Cunningham, 2002: 200).

Ulrick Beck menyampaikan konsep “globalisme” untuk menunjukkan munculnya efek anti demokrasi seiring dengan munculnya perluasan kapitalisme global (globalisasi). Sementara David Held berusaha netral dalam memahami globalisasi dan tidak berfokus hanya kepada sisi negatifnya. Held melihat bahwa globalisasi sebaga sebuah proses “merenggang dan mendalamnya hubungan sosial”, sehingga setiap aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang akan mengakibatkan gema ke seluruh dunia (Cunningham, 2001:200).

Proses akhir dari globalisasi dan demokrasi liberal masih belum dapat terlihat, namun dibeberapa tempat di dunia demokrasi telah mengalami kemunduran, sebagai akibat dari eksploitasi kapitalisme global (globalisasi) yang memicu kemiskinan. Jika kondisi pemiskinan global ini terus dibiarkan maka akan memicu instabilitas yang dapat membangkitkan kembali iblis lama—ideologi totalitarianisme—bangkit kembali (Baradat, 2010:261).




PLEASE SUBSCRIBE GAN CHANNEL KAMI.!!!

thanks if u comments

Back To Top